Orasi Ilmiah Bp. Putut Widjanarko: Kepemimpinan Beretika Mengarungi Perubahan

Hadirin yang berbahagia,

Pertama saya ucapkan selamat kepada yang paling berbahagia pada hari ini, yaitu pada para wisudawati/wisudawan dan keluarganya. Kepada para wisudawati/wisudawan yang baru menyelesaikan S1-nya, selamat memulai kehidupan baru, memasuki dunia yang lebih luas yang penuh tantangan sekaligus peluang. Kepada wisudawati/wisudawan S2, yang sebagian besar ketika memulai belajar adalah para profesional, aktivis LSM, jurnalis atau pendidik yang relatif makan asam garam dalam kehidupan masyarakat, kami berharap apa yang bersama dipelajari selama masa studi bisa mempertajam, memperdalam, memperluas, dan menstrukturkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Para wisudawati/wisudawan yang berbahagia, dengan segenap ilmu yang kita timba, kita semua berharap bisa menjadi makin bermanfaat bagi masyarakat lebih luas. Mari kita manfaatkan ilmu kita sebaik-baiknya. Karena bukankah ilmu yang bermanfaat adalah satu dari tiga amal jariyah, sebuah tabungan yang bahkan anugerahnya tak akan putus ketika seseorang wafat. Dengan begitu, kita bisa berperan-serta lebih penting dalam ikhtiar-ikhtiar kolektif untuk melunasi janji kemerdekaan, meminjam narasi yang dihembuskan oleh Bapak Rektor Anies Baswedan. Kita bisa ikut turun tangan, dan bukan hanya urun angan saja.

Hadirin yang berbahagia,

Tema wisuda kita kali ini “Pemimpin Perubahan yang Beretika”, sebuah tema yang sangat penting, terutama akhir-akhir ini ketika kita merasa sepertinya ada krisis kepemimpinan yang akut di Indonesia. Bukan hanya itu, sebagai bangsa kita seperti kehilangan rasa-tujuan (sense of purpose), dan jalinan kebangsaan kita longgar dan terurai. Dulu Bung Karno sering mengutip Ernest Renan ketika berargumen bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa. Menurut Renan, sebuah bangsa adalah “sekumpulan banyak orang yang berkehendak hidup bersama, dan sudah bersama-sama melakukan hal yang besar dan berkehendak melakukannya lagi”. Perhatikan bahwa menurut Renan, sebuah bangsa tidak ditentukan oleh misalnya kesamaan kelompok etnik atau ras. Sebuah transformasi yang dahysat tatkala para pendiri bangsa kita mampu mentransformasi bangsa Djawa, bangsa Sumatra, bangsa Bugis, dan lain-lain, bahkan juga bangsa Arab dan bangsa Cina yang tinggal di Indonesia saat itu, hingga menjadi Bangsa Indonesia.

Transformasi itu bukan tanpa tentangan, tentu saja. Hal itu tercermin, misalnya, dalam debat besar antara Soetatmo Soeriokoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo di tahun 1918. Soetatmo adalah pemimpin Komisi untuk Nasionalisme Jawayang tentu saja mendukung nasionalisme Jawa. Sedangkan Tjipto yang penyokong nasionalisme bangsa Hindia—kita tahu kata Indonesia dengan nuansa politis dan emosional belumlah dipakai saat itu, dan baru mulai populer pada awal tahun 1920-an. Baik Soetatmo dan Tjipto berpolemik menulis dalam bahasa Belanda, bukan bahasa Jawa ataupun Melayu (Shiraishi, 1981). Soetatmo berpendapat bahwa bangsa yang akan terbentuk haruslah dibangun berdasarkan kesamaan budaya, bahasa, dan sejarah orang Jawa. Menurutnya, tidak ada basis kultural bagi nasionalisme Hindia dan malah produk dari kekuasaan kolonial Belanda. Nasionalisme Jawa, tulis Soetatmo, adalah ekspresi diri dari orang Jawa, sedang Nasionalisme Hindia yang disokong oleh Indische Party atau Islamisme yang digotong oleh Sarekat Islam hanyalah semata-mata reaksi dari dominasi kultural kolonial di Hindia

Tjipto, tentu saja, menolak pendapat itu dan mempertahankan nasionalisme Hindia. Dia mengakui kalau Hindia terdiri dari begitu banyak suku bangsa dengan bahasa dan budaya masing-masing. Tetapi, tulis Tjipto, Jawa pun telah kehilangan kedaulatannya dan hanyalah bagian dari wilayah yang dikuasai oleh Hindia Belanda. Tanah air orang Jawa, tandasnya, bukan lagi Jawa, tetapi Hindia—dan tugas pemimpin-pemimpin adalah menyokong nasionalisme Hindia. Lebih jauh lagi, Tjipto mengkritik beberapa praktik budaya Jawa, misalnya kekuasaan yang diwariskan turun-temurun oleh para bupati, yang menjadi pilar kekuasaan kolonial. Lalu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, orang-orang Jawa harus belajar sains dan teknologi Barat. (Shiraishi, 1981)

Dari sejarah kita tahu bahwa pada akhirnya gagasan nasionalisme Indonesia berhasil menjadi dominan, dengan salah satu penanda pentingnya adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Meski gagasan nasionalisme Indonesia adalah gagasan elitis, tetapi elite yang pluralistik inilah yang kemudian menularkan kegairahan “kehendak hidup bersama, dan akan melakukan hal-hal yang besar bersama” itu ke masyarakat yang lebih luas. Gagasan kebangsaan Indonesia yang bibit-bibitnya sudah dirasakan pada dekade pertama dan kedua abad 20, mengkristal lebih jelas pada tahun 1920-an dan berkembang terus. Ketika perubahan besar terjadi akibat tergerusnya kekuatan global kolonialisme, gagasan kebangsaan tersebut mewujud secara kelembagaan-formal menjadi Pemerintah negara Indonesia yang, seperti tercantum dalam Pembukaan UUD kita: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Sesudah itu, kita tahu, bangsa Indonesia mengalami pasang surut, dan tibalah kita sampai hari ini. Lima belas tahun sudah kita melewati Zaman Reformasi, tapi rasanya suasana batin negativisme dan skeptisisme masyarakat Indonesia justru makin mendalam.  Untuk membuktikan secara empiris, sebenarnya ini bisa menjadi topik menarik jika kita melakukan content analysis terhadap pemberitaan dan komentar di media massa dari pelbagai periode. Atau juga melakukan observasi kosa kata yang muncul pada media sosial seperti facebook dan twitter pada masa-masa ini untuk melihat suasana batin yang berkembang. Tapi sepertinya memang ada kecenderungan kuat kita memandang Indonesia dalam kaca mata negatif. Kita seperti bangsa yang mempritahinkan dan bermasa depan suram. Kita lebih sering melihat “gelas setengah kosong” daripada “gelas setengah penuh”. Kita marah jika pejabat publik tidak bekerja semestinya, tapi ketika dia bekerja dan memperlihatkannya ke publik kita menyebutnya pencitraan. Kita lebih mudah menggerundel dan mencela. Kita lupa bahwa sebenarnya, menyitir Renan kembali,  kita bersama sudah melakukan beberapa “hal-hal besar.” Kita lupa bahwa kita masih punya kemungkinan juga untuk kembali “melakukan hal-hal besar bersama-sama”.

Hadirin yang berbahagia,

Pada titik ini saya teringat apa yang disampaikan oleh Cak Nur Allah yarham pada awal tahun 2000-an, ketika proses transisi demokrasi kita masih muda. Melihat carut-marut yang terjadi, Cak Nur mengatakan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang strong (kuat, tegas), benevolent (penuh kebajikan, baik-hati, hati terbuka)dan enlightened (tercerahkan).Meski suasana politik saat itu carut marut, tetapi rasa euforia  zaman Reformasi masih memberikan suasana batin yang lebih positif akan hari depan. Dewasa ini, dengan mekanisme politik yang sudah lebih tertata, justru yang sebaliknya terjadi: pesimisme dan skeptimisme justru mewabah. Karena itu, pemimpin dengan kualitas-kualitas yang disarankan Cak Nur itu, menurut hemat saya menjadi lebih mendesak di Indonesia dewasa ini ketimbang masa itu.

Saya melihat tiga kualitas yang diajukan Cak Nur itu harus ada dalam pemimpin perubahan yang beretika. Sebenarnyalah dalam kajian-kajian tentang kepemimpinan memang dikenal konsep kepemimpinan perubahan (change leadership) dan kepemimpinan beretika (ethical leadership), selain konsep-konsep seperti servant leadership, authentic leadership, dan lain-lain.  Mari kita simak pendapat John Kotter, penyusun kerangka 8 langkah perubahan skala-besar yang menjadi standar dalam mengelola perubahan. Menurutnya, pemimpin perubahan memiliki visi besar, dan harus mampu membangkitkan rasa urgensi pada, dan sekaligus memberdayakan, banyak orang. Ia mampu mengerahkan banyak orang untuk mencapai suatu tujuan. Pemimpin perubahan, dengan demikian, membawa kita menuju ke sesuatu yang baru, penjelajahan yang baru. Ia membagi kepada pengikutnya kegairahan mencapai tujuan-tujuan yang besar. Pemimpin perubahan bukanlah pemimpin yang terjebak dengan rutinitas manajemen pragmatis yang tujuan utamanya adalah sekadar efisiensi dan efektivitas.

Hadirin yang berbahagia,

Para pakar dalam studi mengenai kepemimpinan sudah banyak menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan dapat dipengaruhi oleh sifat personal seperti integritas, ketulusan, kejujuran dan sifat-sifat semacam itu. Lebih jauh lagi, riset Trevino (2000) dkk juga menunjukkan bahwa pemimpin beretika (ethical leaders) adalah para pengambil keputusan yang adil dan berprinsip, serta altruistik atau mementingkan orang lain dan masyarakat luas. Inilah yang disebut aspek personal dari kepemimpinan beretika.

Dalam aspek tindakan-tindakan manajerial, pemimpinan beretika melakukan ikhtiar proaktif untuk mempengaruhi para pengikutnya. Mereka mengkomunikasikan pesan dengan menjadi role model, yang dengan secara sengaja dan gamblang memberi contoh-contoh perilaku etis. Mereka juga menerapkan sistem penghargaan dan hukuman terhadap bawahan dalam hal tindakan-tindakan mereka yang ada hubungannya dengan etika. Dengan kata lain para pemimpin beretika tidak sekadar menjadi etis bagi dirinya sendiri, tetapi mereka juga memastikan etika diterapkan dengan memanfaatkan perangkat-perangkat manajemen.

Begitulah, tampaknya dengan melihat situasi akhir-akhir ini tampak jelas di mata kita bahwa Indonesia sedang mengalami defisit pemimpin beretika, terlebih langka lagi adalah pemimpin perubahan yang beretika. Peristiwa terakhir di mana Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap oleh KPK karena menerima suap adalah salah satu tanda yang gamblang bahwa etika makin tergerus dalam alam pikir para pemimpin-pemimpin kita. Secara khusus kasus ini sangat destruktif karena justru seharusnyalah Mahkamah Konstitusi menjadi penjaga terkuat. Tak heran jika dewasa ini beredar sindiran telak yang menyebutkan bahwa di Indonesia tidak lagi berlaku trias politicaatau tiga cabang pemerintahan, yaitu eksekutif, judikatif, dan legislatif.  Tapi karena korupsi yang  telah menjalar di tiga cabang pemerintahan itu, yang berlaku sekarang adalah trias corrupticayang terdiri dari executhieves, judicathieves, dan legislathieves.

Para hadirin yang berbahagia,

Rasulullah pernah mengatakan bahwa setiap orang adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Tidak semua orang akan pimpinan lembaga formal yang membawahkan ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan orang. Tetapi, seperti diisyaratkan oleh hadis tersebut, pada level tertentu setiap orang akan menjadi pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas hal tersebut. Para wisudawati/wisudawan yang berbahagia, dengan bekal ilmu yang kita miliki , kita tentu saja memiliki peluang lebih besar untuk menjadi pemimpin yang akan mempengaruhi hidup lebih banyak orang. Kita berpeluang lebih besar dan karenanya bertanggung jawab lebih besar untuk mendorong kehidupan masyarakat luas menjadi lebih baik.

Setelah menempuh waktu bersama-sama selama sekitar empat tahun atau lebih bagi wisudawati/wisudawan S1, atau dua tahun bagi wisudawati/wisudawan S2, maka setelah ini Anda semua akan lebih jarang bertemu karena menyebar menuju jalan hidup masing-masing. Menuju dan membentuk jalan kepemimpinan masing-masing. Di masa mahasiswa barangkali banyak hal-hal yang telah dilakukan bersama, banyak kenangan telah ditambatkan. Dengan “perpisahan” ini, ikatan personal antar kita menjadi melemah karena kita masing-masing dalam perjalanan berikutnya membangun hubungan-hubungan baru. Tapi jangan khawatir, karena justra dengan “perpisahan” ini bukan tak mungkin hal-hal besar justru akan terjadi. Justru dengan “perpisahan” ini, bukan tak mungkin kita akan lebih berhasil dalam menjalankan tanggung-jawab kepemimpinan kita.

Mengapa demikian? Saya akan mendiskusikan selintas salah satu konsep jaringan-sosial (social network) yang  juga amat mempengaruhi saya, yaitu “the strength of weak ties” – atau kekuatan ikatan-ikatan lemah. Sepintas ini adalah suatu paradoks, karena menurut konsep ini hal-hal seperti gerakan sosial, dinamika masyarakat, perkembangan ilmu, dan bahkan perkembangan karir seseorangpun banyak ditentukan oleh ikatan lemah. Konsep ini diperkenalkan oleh Mark Granovetter dalam artikelnya yang berjudul “The Strength of Weak Ties”, yang terbit pada tahun 1973, dan kemudian dibahasnya kembali dalam artikel “The Strength of Weak Ties: A Network Theory Revisited”. Artikel yang pertama disebut-sebut sebagai salah satu artikel yang paling berpengaruh dalam ilmu sosial. Menurut Google Scholar, per 4 Oktober artikel ini telah menjadi referensi bagi 25.566 artikel ilmiah lain.

Hadirin yang berbahagia,

Granovetter membagi hubungan seseorang dengan orang lain dalam tiga kategori hubungan atau ikatan, yaitu ikatan kuat, ikatan lemah, dan absen (tak ada ikatan). Ikatan dan kekuatannya ditentukan oleh gabungan dari banyaknya waktu yang dijalani bersama, kedekatan secara emosional, kesalingmendungkan. Semakin sering bertemu, semakin dekat di hati, semakin saling support, maka semakin kuat ikatan itu. Sedangkan ikatan lemah terjadi karena, katakanlah, karena jarang bertemu. Mungkin, katakanlah, sekali dalam setahun, itupun karena hadir pada, misalnya, seminar yang sama.

Ikatan kuat itulah yang barangkali para  wisudawati/wisudawan alami selama kuranglebih empat atau dua tahun terakhir ini. Ikatan itu akan melemah seiring dengan waktu, karena Anda semua menempuh jalan masing-masing. Tetapi jangan khawatir,karena jika menelisik konsep the strength of weak ties, justru ikatan lemah inilah yang mungkin sekali akan berpengaruh pada kemajuan karir Anda. Bukan tak mungkin pula berkat ikatan lemah Anda ini ikhtiar yang Anda lakukan dan pimpin akan menyebar luas dan menjadi gerakan sosial berskala besar.

Setiap orang masing-masing memiliki ikatan kuat dan ikatan lemah. Jika si Fulan dan si Badu ikatannya kuat (satu jurusan, satu kos-kosan, satu tempat kerja, misalnya), maka semakin banyaklah kesamaaan antarmereka. Barangkali sama-sama fans Manchester United, menonton drama Korea yang sama, dan sama-sama naksir Fatin Sidqhia Lubis. Informasi yang mereka punyai kurang  lebih sama. Jika si Fulan dan si Badu ini dalam kelompok yang juga masing-masing anggotanya memiliki ikatan kuat dan tidak memiliki ikatan lemah, maka bisa dipastikan informasi dan pengetahuan hanya akan berkutat pada kelompok itu saja. Demikian pula informasi dan pengetahuan dari luar sukar menembus kelompok itu karena tidak ada salurannya. Orang-orang yang sedikit memiliki ikatan lemah hanya akan mendapat informasi dari teman-teman dekatnya dalam ikatan kuat, dan tidak mendapatkan informasi sendiri dari luar itu.

Hadirin yang berbahagia,

Granovetter  melakukan penelitian di wilayah sub-urban Boston, Amerika Serikat, kepada para profesional, manager, dan teknisi yang sudah pindah bekerja dan mendapat gaji yang lebihbaik.  Ia menanyakan dari sumber mana mereka mendapat informasi tentang lowongan yang mereka tempati sekarang. Sumber informasi dibagi dalam tiga kategori menurut seringnya orang-orang itu saling berjumpa, yaitu: sering = paling  tidak bertemu dua kali seminggu; kadang-kadang = bertemu lebih dari sekali dalam setahun, tapi tidak dua kali seminggu; jarang = paling tidak bertemu sekali setahun. Hasilnya adalah sering bertemu 16,7%, kadang-kadang 55,6%, dan jarang bertemu 27,8%. Terlihat bahwa informasi lowongan ini condong bersumber dari orang-orang yang memiliki ikatan lemah dengan mereka. Beberapa penelitian berikutnya juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama.

Tetapi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konsep ikatan lemah ini tidak saja berimplikasi individual seperti perkembangan karir saja, tetapi memiliki konsekuensi sosial yang juga besar. Katakan si Badu memiliki sebuah gagasan program yang ia percayai mampu mengurangi kemiskinan. Si Badu mungkin saja bisa meyakinkan beberapa teman dekatnya untuk bergabung bersama dia melaksanakan program itu. Jika program mereka itu berhasil, momentum itu akan berhenti pada kelompok itu dan tidak menyebar, jika tidak ada ikatan lemah yang membantu menyebarkannya keluar. Sungguh menarik jika kita bisa, misalnya, menganalisis keberhasilan Gerakan Indonesia Mengajar dalam perspektif ini.  Para peneliti mengenai kajan penyebaran inovasi, seperti Everett Rogers, misalnya, juga menunjukkan bukti pentingnya ikatan lemah dalam penyebaran pengenalan inovasi baru. Juga oleh kajian-kajian penyebaran ide seperti penelitian yang dilakukan oleh Feine dan Kleinman, dan lain-lain.

Dalam skala masyarakat yang lebih besar, Granovetter berpendapat sistem sosial yang kekurangan ikatan lemah antar anggota masyarakatnya akan terfragmentasi dan tidak koheren. Katanya, “Gagasan baru akan lambat menyebar, perkembangan kemajuan ilmiah akan terkendala, dan masyarakat yang terbagi dalam sub-kelompok terpisah menurut ras, etnisitas, geografi dan hal semacam itu akan sulit mencapai modus vivendi (“kesepakatan” bersama antara piha-pihak yang beragam untuk hidup bersama).”Dengan demikian, sistem sosial yang memungkinkan makmurnya ikatan lemah antarwarga bukan saja mempelancar inovasi sosial dan gagasan baru, tetapi juga melemahkan kemungkinan konflik. Yang menarik pula, dengan berlimpahnya ikatan lemah antarwarga, inovasi, gagasan, dan gerakan yang tadinya marjinal dan individual akan memiliki peluang untuk menyebar ke seluruh sistem sosial. Di sini pula letak kemungkinan agency (kurang lebih bisa kita terjemahkan sebagai pribadi-pribadi yang berkehendak) mengubah atau mempengaruhi structure atau sistem sosial yang melingkupinya.  Melalui mekanisme semacam inilah, kita semua ini, sebagai pemimpin dalam kapasitas kita masing-masing, dengan cara yang tepat dan ikatan lemah yang kita punyai, memiliki peluang dan saluran untuk berperan-serta dalam dinamika masyarakat yang lebih luas.

Setelah hari-hari ini, kita akan lebih jarang bertemu, mungkin sekali dalam setahun, dan sesekali barangkali me-mention di twitter atau facebook untuk say hello. Anda akan menjadi jaringan individu meskipun dengan ikatan lemah antarindividu. Tidak apa-apa, karena dengan inilah kita, jika kita mengikuti alur-pikir Granovetter,  justru akan melakukan hal-hal besar bersama. Justru hari ini adalah sebuah awal, Insya Allah. Jadi kita boleh sedikit melankolik dengan perpisahan ini, tetapi janganlah seperti lirik lagu-nya Cakra Khan yang dengan penuh galau mengatakan:

Ini harusnya kita coba saling melupakan

Lupakan, lupakan kita pernah saling bersama.

 

Hadirin yang berbahagia,

Sudah biasa dikatakan bahwa kita mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat dewasa ini. Para orang bijak-bestari telah mengungkapkan itu sejak dulu. Heraclitus (535-475 SM) mengatakan panta rhei—segala sesuatu itu mengalir.  Katanya, bahkan jika kita menginjak dasar sungai yang sama di lain waktu, bukankah air sudah berbeda karena mengalir. Filsuf Muslim Ibnu Sina (980-1037) pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini berubah, dan yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Kaum Sufi juga percaya bahwa alam ini adalah tajalli (pengungkapan, pengejawantahan)  yang terus-menerus diperbarui oleh Allah SWT, karena konsekuensi kemahatakterbatasan-Nya adalah renewal yang terus menerus terhadap ciptaan-Nya. Begitulah, perubahan adalah sesuatu yang niscaya, dan kita hidup di dalamnya.

Hadirin yang berbahagia,

Mengakhiri orasi ini, saya ingin menyampaikan apa yang saya pernah dengar dari Cak Nur Allah yarham. Barangkali saja bukan Cak Nur orang yang pertama kali mengatakan hal  ini, tapi paling tidak saya mendengar pertama kalinya dari beliau. Dalam suatu diskusi, Cak Nur meyitir satu bait lagu Indonesia Raya, yaitu:

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku

Bangsaku rakyatku, semuanya

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya

Untuk Indonesia Raya...

 

Kata beliau, untuk “menghidupkan” tanah, negeri, bangsa, rakyat Indonesia Raya, maka urutan utamanya adalah membangun jiwa dan kemudian membangun badan. Saya yain selama empat tahun atau dua tahun belakangan  ini Universitas Paramadina adalah wadah kita bersama membangun jiwa—seperti yang telah dinyatakan dalam tujuannya: yaitu menumbuhkembangkan pribadi-pribadi yang tak saja berilmu, bernalar tajam, cakap berkarya, berwawasan luas, dan jiwa yang mandiri,  tetapi juga memiliki kedalaman iman, dan kepekaan nurani. Sungguh sesuai dengan visi Universitas Paramadina, yaitu menjadi universitas unggulan berbasiskan etika-religius untuk mewujudkan peradaban yang luhur. Selanjutya  diwujudkan menjadi kompetensi lulusan yang menyangkut tiga hal: ethics, leadership, dan entrepreneurship.

Dengan begitu, marilah kita bersama-sama berikhtiar sesuai dengan kemampuan  kita untuk membangun badan masa depan Indonesia yang lebih baik, lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terima kasih, sekali lagi selamat untuk kita semua. Semoga hidayah dan inayah Allah SWTsenantiasa bersama kita. Amin.

Putut Wijanarko*)

Jakarta, 12 Oktober 2013

 

------------------------------------------------------

Disampaikan pada Wisuda Sarjana Universitas Paramadina, Sabtu, 12 Oktober, 2013.

*) Dosen Paramadina Graduate School of Communication. Wakil Direktur Mizan Group.

 

Materi Presentasi dapan di download disini.

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�