Islam yang Kasih, Mengapa Masih Ada Ekstremis?

Print

 

Reporter: Ach. Fadil

Senin (12/05/14), Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, kembali mengadakan konferensi internasinal bertajuk Extremism dan Social Peace yang bertempat di ruang Sevilla-Toledo Paramadina Graduate School (PGS), The Energy Building, Sudirman Center Business Distric (SCBD), dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang memang concern di bidang isu-isu tentang ektremisme, keadilan sosial, perdamaian sosial, dan yang semacamnya.

Acara yang dimulai pada pukul 09.00 WIB ini dihadiri oleh Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Dalam sambutannya, ia bicara mengenai Islam yang ramah dan kasih. Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengutip beberapa literatur klasik seperti Tarikh Ibnu Hisyam, Bukhari-Muslim, dan al-Muwattho’ karya Imam Malik yang memang diakui setara dengan Kutub al-Sittah dalam mazhab Sunni. Di akhir sambutannya ia menyimpulkan bahwa Islam itu pada intinya adalah agama cinta (kasih). “Inti al-Qur’an ada di surat al-Fatihah, inti al-Fatihah ada dua kata: al-Rahman dan al-Rahim. Kalau dua kata itu dipadatkan lagi, ternyata berasal dari kata rahima-yarhamu yang berarti cinta. Jadi inti al-Qur’an (Islam) adalah cinta” ungkapnya.

Konferensi internasional ini berlangsung hingga pukul 14. 30, dan dibagi menjadi dua sesi. Beberapa pembicara yang hadir pada sesi pertama diantaranya: Karim Douglas Crow, Haidar Bagir, Husein Heriyanto, dan Pipip Ahmad Rifai Hasan. Sementara pada sesi kedua menghadirkan para pembicara antara lain: Lukman Hakim, Emil Radhiansyah, dan John T. Giordano.

Pada sesi pertama, Karim Douglas Crow yang menjadi pembicara pertama mengungkapkan bahwa ekstremisme muncul karena hampir mayoritas muslim hanya sibuk dengan urusan fiqih (relegious eksoterise). Tetapi tak banyak yang bicara soal yang transendental. “Kebanyakan orang-orang muslim hanya bicara soal musyarakah, mudharabah, dan lain-lain. Tapi sedikit sekali yang bicara soal mukasyafah dan spiritual. Padahal hal itu sangat esensial dan prinsipil” ungkapnya.

Haidar Bagir melihat dari sisi lain mengenai penyebab ekstremisme dan takfirisme. Baginya, aliran-aliran garis keras dalam Islam muncul karena kedangkalan pemahaman keagamaan mereka. “Takfirisme muncul dikarenakan rendahnya pengetahuan mereka tentang Islam, ditambah lagi dengan banyaknya reduksi-reduksi yang dilakukan oleh banyak dai di televisi” paparnya. Selain itu, takfirisme menurut Bagir akan sangat berbahaya kalau dekat dengan kekuasaan. Bahkan menurutnya, takfirisme sekarang sudah menjadi semacam disiplin ilmu tersendiri (ilmu takfirisme). “Takfirisme sudah menjadi disiplin ilmu dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits, dan tidak hanya berhenti di level wacana saja, tetapi juga praktek” tambahnya.

Sementara Husein Heriyanto mengidentifikasi ciri-ciri kesamaan antara kaum fundamentalis yang biasa dilekatkan dengan kaum Wahabi (Salafi) dengan kaum modernis. “Salah satu kesamaan antara modernisme dan wahabisme adalah mereka sama-sama memotong tradisi, menolak budaya, mazhab dan lain-lain” paparnya.

Bagi Pipip Ahmad Rifai Hasan, kekerasan-kekerasan yang banyak dilakukan oleh umat Islam menyebabkan berkuranganya simpati dunia terhadap Islam, dan itu sangat merugikan menurutnya. “Karena itu, ketika orang-orang muslim ditindas seperti kasus di Myanmar (Muslim Rahingya vs Buddha Rakhine), simpati dunia internasional tidak kuat. Karena mereka (kebanyakan umat Islam) melakukan kekekarasan dalam menyelesaikan masalah” paparnya.

Lukman Hakim yang menjadi pembicara pertama pada sesi kedua, melihat bahaya laten ektremisme dari perspektif historis. Menurutnya, eketremisme dari purba kala sudah ada di nusantara ini, dan sulit dihilangkan. “Hamzah Fansuri dianggap kafir oleh Nuruddin al-Raniri, Siti Jenar dianggap kafir dan diekskusi mati oleh kesultanan Demak pada waktu itu, dan lain-lain” paparnya. “Ekstremisme kalau saya analogikan seperti virus. Ia menyebar dan menggerogoti tubuh kita kalau kekebalan tubuh kita sudah melemah. Ia tidak bisa dihilangkan, tetapi hanya bisa dilemahkan” pungkasnya.

Berbeda dengan Lukam Hakim, Emil Radhiyansyah menyoroti munculnya ektremisme dari perspektif Hubungan Internasional. Bagi Emil, ektremisme tidak terjadi secara natural, tetapi by design yang dibuat oleh penguasa kapitalis. “Sehingga ketika mereka terombang-ambing—secara ekonomi, konflik pun terjadi, dan ektremisme muncul di dalamnya” paparnya.

Bahaya ektremisme yang menurut Lukman Hakim sudah seperti virus, diamini juga oleh John T. Giordano. Baginya, ektremisme memang sulit dihilangkan. Ia bisa dihilangkan dengan syarat dunia tanpa politik sebagaimana ia mengutip apa yang dikatakan oleh Carl Schmitt dalam bukunya The Concept of the Political:A world in which the possibility of war is utterly eliminated, a completely pacified globe, would be a world without the distinction of friend and enemy and hence a world without politics—Sebuah dunia di mana kemungkinan perang benar-benar dihilangkan; sebuah dunia benar-benar menenangkan; akan menjadi dunia tanpa perbedaan teman dan musuh dan karenanya dunia tanpa politik.

Joomla SEF URLs by Artio