Latihan Menahan Diri

 

Oleh: Aan Rukmana*

Sepulang Rasulullah dan para sahabat dari suatu peperangan yang sangat menentukan pada tanggal 17 Ramadan, yaitu Perang Badar, beliau berkata,"Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.” (raja’na min al-jihad al-ashghar ila al-jihad al-akbar). Para sahabat heran dengan perkataan Rasulullah tersebut karena peperangan yang sangat berat tersebut dianggap hanya sebagai jihad kecil dan masih ada jihad lain yang jauh lebih besar lagi. Mereka bertanya,"Jihad apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab,"Jihad melawan hawa nafsu.” Jihad melawan hawa nafsulah jihad yang jauh lebih besar daripada segala peperangan yang bersifat fisik.

Sepintas, pernyataan Rasulullah tersebut seakan melawan asumsi umum bahwa jihad terbesar adalah jihad melalui perjuangan fisik. Maka, tidak heran jika hingga saat ini umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa jihad yang terbesar, yaitu jihad fisik. Padahal sudah jelas-jelas Rasulullah sendiri menyampaikan bahwa jihad melawan hawa nafsu sendirilah yang terberat dan tersulit, sehingga diyakini sebagai jihad yang terbesar. Jihad dalam menahan emosi sendiri merupakan jalan panjang yang berliku dan mengandaikan latihan ruhani yang tiada henti.

Puasa di bulan Ramadan merupakan momentum yang paling tepat untuk mengasah kemampuan diri dalam mengelola diri sendiri yang memiliki efek dimensi sosial. Perintah untuk tidak makan dan minum serta melakukan hal-hal yang akan membatalkan puasa kita mulai dari terbit matahari sampai terbenamnya akan melahirkan pribadi yang jauh penuh tenggang rasa dengan sesamanya, memiliki kemampuan kontrol diri (self control) yang baik serta bersabar di dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dengan tetap penuh harap akan kasih sayang Allah SWT. Pribadi seperti inilah merupakan cerminan pribadi yang akan menjadi oase bagi sesamanya. Di saat kehidupan sedang sulit, ia akan menjadi pembawa obor harapan dan optimisme. Di pundak pribadi inilah masa depan kehidupan umat manusia akan terlihat jauh lebih baik dan membawa banyak harapan positif.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar puasa kita dapat menjadi media pelatihan diri yang berhasil. Terdapat tiga hal yang menjadi catatan dalam pelaksanaan ibadah puasa yang berhasil.

Pertama, momen puasa dapat dilihat bukan semata sebagai ibadah rutin tahunan, melainkan sebagai sekolah bersama dalam melatih diri sendiri. Meski pelaksanaannya bersifat kolektif, akan tetapi pengalaman yang dirasakannya bersifat sangat personal (privat) sehingga menjadi kesempatan yang tepat bagi diri sendiri untuk mengecek lebih detail nilai-nilai diri yang dimiliki.

Apakah kita termasuk sebagai orang yang penyabar, tentu hanya diri sendirilah yang mengetahui derajat kesabaran yang dimiliki. Jika kita masih merasa kurang kadar kesabarannya, kita bisa melatihnya secara optimal di bulan penuh berkah ini.

Setiap nilai yang sedang dilatih pasti ada ujiannya. Nilai sabar akan diberi ujian hal-hal yang barangkali mudah menjengkelkan hati dan memicu kita untuk marah. Andai kita tidak memberi respons marah atas berbagai stimulus yang ada, di sanalah kita akan mengalami peningkatan nilai sabar dalam diri sendiri. Begitu juga dengan nilai lainnya seperti nilai tawaduk yang akan diuji dengan perkara-perkara yang bisa membuat kita besar kepala dan sombong.

Kedua, target utama dari pelaksanaan ibadah puasa yaitu agar kita yang beriman dapat menjadi orang-orang yang bertakwa (la’allakum tattaqûna). Artinya, seseorang yang beriman belum tentu sudah mencapai derajat takwa. Proses mencapai takwa merupakan proses jangka panjang yang untuk meraihnya membutuhkan daya upaya yang besar. Proses menuju takwa merupakan perjalanan seumur hidup kita.

Kita tidak boleh merasa sudah mencapai nilai takwa karena hal tersebut dapat melahirkan kesombongan dalam diri sendiri. Justru kesadaran yang harus ditumbuhkan, yaitu kesadaran bahwa kita senantiasa sedang berproses dan berjalan menuju ketakwaan. Inilah yang akan melahirkan dalam diri sendiri suatu sikap batin yang penuh rendah hati dan tawaduk.

Di hadapan manusia lain yang sedang berposes menuju takwa kita pandang dengan tatapan penuh respek dan hormat. Sebagai manusia biasa, kita tidak berhak mengklaim sudah sampai ke titik takwa. Allah-lah yang paling berhak untuk memutuskan apakah seseorang sudah sampai ke tingkatan takwa atau belum. Kita tinggal bertawakal kepada Allah saja kalau sudah berusaha mencapai takwa.

Ketiga, ajaran Islam sebagaimana dicontohkan dengan baik oleh Rasulullah merupakan ajaran nilai-nilai mulia (al-akhlâq al-karîmah). Rasulullah sendiri pernah mengatakan bahwa misi utama pengutusnya merupakan suatu perjuangan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dimensi akhlak inilah ajaran utama Islam. Ia meliputi semua segi kehidupan manusia baik yang bersifat personal maupun bersifat sosial.

Akhlak yang mulia terletak di dalam pribadi yang matang yang dicirikan oleh kemampuan untuk menahan diri dari berbagai godaan yang menjadikan dirinya out of control. Pribadi yang berakhlak mulia ini akan menjadi pemantik pijar peradaban umat manusia sejagad. Ia bukan sosok yang suka memecah belah umat manusia, melainkan sosok yang selalu mencari titik temu (kalimatun al-sawa’) dari perbedaan yang ada. Semoga puasa kali ini mampu membawa kita semua menjadi umat yang memiliki akhak mulia sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

sumber

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/556947/latihan-menahan-diri 

 

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�