Takwa Adalah Akhlak Mulia

Print

Oleh: Zainul Maarif*

Tujuan puasa adalah ketakwaan pelakunya, sebagaimana tertera dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 183. Yang menjadi pertanyaan: apa gerangan takwa itu?

Takwa adalah upaya menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Secara umum, perintah dan larangan Tuhan disebut dengan golden rule: aturan emas, yang berbunyi,"Lakukanlah sesuatu sebagaimana engkau ingin diperlakukan. Jangan lakukan sesuatu yang tak ingin diperlakukan padamu."

Secara lebih global lagi, golden rule itu akhlak mulia, di mana Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakannya: Innamâ bu'itstu liutammima makârim alakhlâq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia).

Akhlak mulia adalah inti semua agama dan aliran etika. Semua nabi dan rasul pun hadir membawa akhlak mulia, yang disebut juga dengan agama.

Perbedaan di antara para nabi/rasul hanya pada syariat/manhaj (aliran/metode) saja. Allah berfirman,"likullin ja'alnâ minkum syir'atan wa minhâjan." (bagi kalian, Kami jadikan aliran dan metode masing-masing)

Jalan metodis para nabi dan rasul dalam menghadirkan akhlak mulia berbeda antara satu dan lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Nabi Musa As diutus Allah kepada Bani Israel yang mengungsi dari Mesir ke Palestina. Mereka tak punya tempat tinggal menetap alias nomaden. Namun, moralitas harus senantiasa ditegakkan. Allah menurunkan 10 perintah yang terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan YME, penghormatan kepada kedua orangtua, dan larangan membunuh, mencuri, berzina dan bersaksi dusta.

Apabila perintah yang terkait dengan relasi antarmanusia dilanggar, maka pelanggar akan dihukum balas. Alquran menyebutnya dengan qishâsh. Luka diganti luka. Mata diganti mata. Telinga diganti telinga. Bahkan nyawa diganti nyawa.

Hukum balas alias "syariat kebenaran" (syarî'at al-haq) Nabi Musa As. diberlakukan karena Bani Israel sedang dalam kondisi nomaden. Setelah Bani Israel menetap di Palestina, Nabi Isa As alias Yesus Kristus diutus dengan "syariat kasih" (syarî'at al-hub). Di Injil Matius 5: 38-39, Yesus Kristus bersabda,"Kamu telah mendengar firman mata diganti dengan mata, dan gigi diganti dengan telinga. Tapi aku mengatakan kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu."

Berbeda dengan syariat kebenaran Nabi Musa yang didominasi pembalasan setimpal, syariat kasih Nabi Isa penuh pemaafan.

Dalam syariat Musa, kita diminta membalas pihak yang bertindak buruk kepada kita. Apabila seorang berbuat baik, maka baginya respons yang baik. Apabila seorang bertindak buruk, maka baginya respons yang buruk. Itu prinsip syariat Musa yang berlaku di masa nomaden: hidup berpindah-pindah dan masih biadab.

Sebaliknya, syariat Isa adalah syariat masyarakat beradab yang mendorong kita untuk selalu bersikap baik. Apabila Anda bersikap baik, maka saya akan bersikap baik. Apabila Anda bersikap buruk, maka saya tetap akan bersikap baik.

Namun, syariat Isa itu berat. Tak semua manusia pemaaf. Syariat Musa juga berat, karena tak semua manusia pendendam.

Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir untuk manusia di mana saja. Maka, syariat Muhammad bersifat moderat antara syariat ekstrakeras Musa dan syariat ekstralembut Isa.

Syariat Muhammad itu disebut dengan syariat rahmat. Manifestasinya antara lain tampak di QS Al-Baqarah: 178. Di situ, umat akhir zaman diperkenankan untuk memilih apakah akan membalas keburukan dengan keburukan, seperti syariat Musa, ataukah akan memaafkan perilaku buruk, seperti syariat Isa.

Moderatisme adalah syariat Nabi Muhammad. Moderatisme tersebut merupakan bagian dari akhlak mulia, yang notabene inti sari dari takwa yang menjadi tujuan puasa. 

*Dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina, Jakarta.

 

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/553415/takwa-adalah-akhlak-mulia 

Joomla SEF URLs by Artio