Etika Memberi dan Menerima

Print

Oleh: Zainul Maarif

Di sekitar hari raya Idul Fitri, umat Islam menjalani tradisi saling memberi dan menerima. Pemberi tak selamanya pihak dari strata sosial yang lebih tinggi. Penerima pun tak selalu orang dari golongan yang lebih rendah. Kadang kala orang yang berada di tataran masyarakat yang lebih rendah memberi sesuatu kepada orang yang lebih tinggi tingkatan sosialnya daripadanya. Sebaliknya, orang yang lebih tinggi golongan sosialnya menerima sesuatu dari orang yang lebih rendah strata sosialnya. Hal itu seperti yang terjadi pada anak yang sudah bekerja atau sudah berkeluarga yang memberi bingkisan untuk orangtuanya.

Namun biasanya, gerak tradisi memberi dan menerima memang mengalir dari atas ke bawah. Dari pihak yang berpunya kepada pihak yang kurang beruntung. Dari muzaki (pemberi zakat) kepada mustahik (penerima zakat). Pada hari khusus semacam Idul Fitri, tradisi memberi dan menerima bisa bergerak melawan arus itu, yaitu bergerak dari bawah ke atas seperti disitir di depan, atau justru bergerak mendatar, dari seseorang kepada sesamanya, seperti yang terjadi pada bingkisan seseorang untuk sahabatnya. Yang pasti, tradisi memberi dan menerima terjadi intensif di hari raya Lebaran, sehingga prinsip-prinsip memberi dan menerima perlu diindahkan.

Pemberi seyogianya bersungguh-sungguh dalam memberikan sesuatu. Yang diberikan sepatutnya memang layak untuk diberikan. Cara memberikannya pun seharusnya baik, bukan asal-asalan. Tak sepatutnya pemberian diberikan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Tak selayaknya pula sesuatu diberikan dengan cara buruk.

Pemberian baik yang diberikan dengan cara baik akan menyenangkan pihak pemberi dan penerima, dan akan memperbaiki relasi sosial selanjutnya. Sebaliknya pemberian buruk yang diberikan dengan cara baik, atau pemberian baik yang diberikan dengan cara buruk, akan membekaskan luka di hati penerima dan mengakibatkan keburukan relasi di hari depan. Karena itu Allah SWT berfirman,"Orang yang memberi dan bertakwa, serta bersedekah dengan baik, niscaya akan Kami mudahkan dia dalam kemudahan. Sedangkan orang yang pelit dan mencukupkan hartanya untuk dirinya sendiri, serta berbohong dengan cerdik, niscaya akan Kami mudahkan dia dalam kesulitan.” (QS al-Lail: 5)

Dengan begitu, seharusnya pemberi memberikan sesuatu yang baik dengan cara yang baik. Lalu, bagimanana dengan penerima?

Tak ada beban berat bagi penerima. Dia cukup hanya menerima. Tak perlu banyak tuntutan yang macam-macam. Laksana hamba di hadapan takdir Ilahi, penerima cukup membuka tangan terhadap apa pun yang didapatkan.

Pada momen itu, penerima seyogianya berpegang pada prinsip syukur. Allah SWT berfirman,"Jika engkau mensyukuri nikmat-Ku, niscaya Aku akan menambahkannya. Seandainya engkau mengingkari nikmat-Ku, sungguh siksa-Ku amat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Syukur tidak sekadar dihaturkan hamba kepada Tuhan. Orang pun seyogianya bersyukur kepada orang lain yang berbuat baik kepadanya, minimal dengan cara berterima kasih. Karena man lam yasykur an-nâs lam yasykur Illâh (orang yang tidak bersyukur kepada manusia berarti tidak bersyukur kepada Tuhan). Orang yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang memberikan sesuatu, sama dengan orang yang tidak berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberinya karunia.

Oleh karena itu, sebagai penerima, terimalah pemberian dengan penuh terima kasih! Sebagai pemberi, berilah sesuatu yang baik dengan cara baik! Dengan begitu, tradisi memberi dan menerima di di sekitar hari Idul Fitri akan mengeratkan ikatan tali persaudaraan dan persahabatan yang terjalin.

Penulis adalah dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina Jakarta dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta.

Sumber:

http://www.beritasatu.com/ramadan/437437-etika-memberi-dan-menerima.html

Joomla SEF URLs by Artio