Puasa Lahir dan Batin

Oleh: Zainul Maarif

Puasa memiliki dua dimensi: lahir dan batin. Puasa lahir adalah puasa dengan standar ilmu fikih (ilmu hukum Islam) bagi orang awam, sedangkan puasa batin adalah puasa dengan standar ilmu tasawuf (ilmu rohani Islam) bagi orang khusus. Di kitab Ihyâ 'Ulûmiddîn, bab Rahasia Puasa, Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan ada enam syarat untuk menjalani puasa Ramadan secara lahir, dan enam syarat pula untuk menjalani puasa Ramadan secara batin. (Lih., Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ 'Ulûmiddîn, Beirut: Darul Fikr, 1995, Volume 1, halaman 294-298)

Enam syarat puasa Ramadan secara lahir, yakni pertama, mengetahui awal bulan Ramadan dengan melihat hilal (bulan sabit) atau mendengar pernyataan seorang terpercaya mengenainya. Kedua, niat puasa secara jelas, tertentu dan pasti di setiap malam. Ketiga, menahan diri dari masuknya sesuatu ke dalam lubang tubuh secara sengaja.

Keempat, menahan diri untuk tidak bersetubuh. Kelima, menahan diri untuk tidak masturbasi. Keenam, menahan diri dari muntah. Penahanan diri tersebut dilakukan sejak azan subuh hingga azan magrib.

Adapun syarat-syarat puasa batin yang berjumlah juga enam, yakni pertama, mengendalikan mata dari hal-hal yang tidak terpuji dan dibenci, serta hal-hal yang menyibukkan hati dari selain mengingat Allah. Kedua, menjaga mulut dari perkataan buruk. Ketiga, mencegah telinga mendengar ungkapan jelek.

Keempat, mencegah anggota tubuh melakukan dosa. Kelima, tidak banyak makan ketika buka puasa dan malam hari saat tak puasa. Keenam, setelah berbuka puasa, hati berada di antara harapan dan ketakutan, karena tidak tahu apakah puasa tadi diterima atau ditolak Allah.

Bagi orang yang setiap hari makan, minum dan melampiaskan nafsu, syarat-syarat puasa lahir tersebut mungkin berat. Sehari penuh meninggalkan kebiasaan harian adalah beban tersendiri. Bila yang menjadi persoalan kita hanyalah urusan tidak makan, tidak minum, tidak bersenggama, dan tidak beronani di dalam puasa, maka kita masih dalam taraf orang awam. Cukuplah puasa lahir sebagai latihan bagi orang awam untuk mengendalikan diri menuju perbaikan pribadi.

Namun, level seseorang seharusnya naik. Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin. Kalau kemarin kita masih di tingkatan awam yang puasanya berkutat dengan persoalan fikih, maka hari ini dan seterusnya, kita sepatutnya beranjak menuju kelas khusus yang bergelut dengan hal ihwal yang lebih rohani (tasawuf).

Bila kita naik level, maka “jarak” kita kepada Allah semakin “dekat”. Jika kita lebih “dekat” dengan Allah, maka hajat kebutuhan kita akan jauh lebih mudah dipenuhi oleh Sang Penguasa Segala Sesuatu itu. Oleh karena itu, seyogianya kita seharusnya sudah memulai untuk memenuhi syarat-syarat puasa batin, selain tetap menjalankan syarat-syarat puasa lahir.

Dengan menjalani puasa batin yang melengkapi puasa lahir, kita tidak sekadar menahan lapar, dahaga dan libido, tetapi juga mengendalikan mata, mulut, telinga, hati dan seluruh jiwa dan raga. Yang kita hindari bukan hanya yang haram (terlarang) dan yang syubhat (perkara abu-abu), tetapi berlebih-lebihan terkait hal yang halal. Sebab, inti dari puasa adalah al-imsâk (pengendalian diri). Jika perut dan bawah perut terkendali, namun mata tetap jelalatan, mulut tak berhenti menggunjing, telinga nyaman mendengar gosip, dan hati terus bergelayut dengan dunia dan melupakan Allah, maka apakah pengendalian sisi lahir itu sungguh-sungguh dapat disebut sebagai puasa?

Nabi Muhammad menjawab,“Kam min shâimin laisa lahu min shaumi illâ al-jû' wa al-athash” (HR An-Nasa’i dan Ibn Majah). Berapa banyak orang puasa yang hanya mengalami lapar dan dahaga saja, tanpa mendapatkan pahala dari puasanya itu.

Artinya, seyogianya kita tidak hanya puasa lahir, melainkan harus mulai menapaki jalan berpuasa batin. Sekiranya kita dapat menjalani puasa batin di samping puasa lahir, maka kita akan dicatat sebagai orang-orang bersabar yang akan mendapatkan anugerah yang tak terhitung, baik di dunia dan di akhirat, sebagaimana dijanjikan oleh Allah di Alquran surat Az-Zumar ayat 10. Adakah orang yang tak tertarik untuk dekat dengan dan mendapatkan karunia dari Sang Penguasa Segala Sesuatu?

Penulis adalah dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina Jakarta dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta.

sumber:

http://www.beritasatu.com/ramadan/434218-puasa-lahir-dan-batin.html

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�