Prinsip Hidup

Oleh: Zainul Maarif*

 

Kita masih ada di dunia ini karena kita hidup. Namun, sekadar hidup saja tidaklah cukup. Bila sekadar hidup, binatang dan tumbuhan pun hidup. Manusia lebih dari binatang dan tumbuhan yang sekadar hidup. Hal yang menjadikan manusia tak sekadar hidup adalah kepemilikan prinsip hidup.

Prinsip hidup adalah pegangan untuk hidup. Peta petunjuk jalan hidup. Pelita penerang hidup. Bukankah setiap hari kita memohon petunjuk Ilahi dalam bacaan Al-Fatihah Ihdinâsh shirâthal mustaqîm? Apa gerangan jalan lurus yang dianugerahkan orang-orang yang mendapat nikmat, tak terkutuk dan tak tersesat?

Jalan lurus itu adalah prinsip hidup. Dalam perenungan, saya menemukan empat prinsip hidup yang diambil dari Alquran dan Kaidah Ushul Fiqih.

Prinsip pertama dikutip dari surat Al-Insyirah faidzâ faraghta fanshab: bila engkau selesai, maka bekerjalah sungguh-sungguh. Ayat tersebut bisa dibaca secara terbalik, menjadi fanshab ila al-farââgh: berupayalah sampai tuntas. Bila kita melakukan sesuatu, maka lakukanlah hingga selesai. Bila kita punya cita-cita, maka raihlah cita-cita dengan segala daya dan upaya yang baik.

Prinsip pertama itu prinsip untuk pantang menyerah. Berupaya semaksimal mungkin menggapai apa pun yang hendak digapai.

Namun, kita tak bisa memastikan keberhasilan upaya kita. Pada dasarnya kita hanya bisa berusaha. Hasil akhir usaha kita kerap kali berada di luar kendali diri. Di titik itulah, kita perlu prinsip kedua yang dikutip dari surat Al-Insyirah juga. Bunyinya wa ilâ rabbika farghab. Pada Tuhanlah, engkau berharap.

Mau tidak mau kita perlu memasrahkan diri dan hal ihwal yang kita kejar ke hadirat Sang Harapan Hakiki: kekuatan yang kita harapkan membantu mengejawantahkan harapan kita.

Bila kita hanya menerapkan prinsip pertama, kita mungkin gigih berusaha, tetapi potensial stres, terutama ketika menghadapi kegagalan. Beberapa orang Jepang, misalnya, bunuh diri karena secara implisit hanya memegang prinsip pertama, tanpa prinsip kedua.

Prinsip kedua adalah penetralisasi semangat yang menggebu-gebu. Spirit menggapai sesuatu memang perlu sekuat mungkin. Namun, persentasenya cukup 99 persen saja usaha. Satu persennya adalah pasrah kepada Sang Maha Segalanya.

Selanjutnya, prinsip kedua ditopang prinsip ketiga, yaitu Asy-Syukru wa Ash-Shabru (syukur dan sabar). Bila yang kita harapkan teraih, maka bersyukurlah. Bila harapan gagal, maka bersabarlah.

Syukur dan sabar adalah inti iman, kata Imam Al-Ghazali di kitab Ihyâ’ Ulûm Ad-Dîn. Seseorang tak sungguh-sungguh beriman bila tidak bersyukur. Sebab, syukur berarti terima kasih. Tak berterima kasih pada Tuhan atas segala nikmat-Nya adalah kesombongan. Kesombongan hanya pantas bagi Tuhan. Manusia tak pantas sombong. Maka, ketika manusia tidak bersyukur, manusia sedang sombong. Kesombongan seseorang mereduksi kesadarannya tentang keterbatasan diri, dan pada saat yang sama mereduksi keimanannya pada Tuhan Yang Tak Terbatas. Karena itu, orang yang tak bersyukur adalah orang yang tak sungguh-sungguh beriman.

Orang yang tak bersabar menghadapi cobaan juga bukan orang yang sungguh-sungguh beriman. Orang beriman adalah orang yang yakin bahwa Tuhan Maha Besar. Selain Tuhan adalah makhluk kecil, sehingga orang yang beriman ketika menghadapi persoalan yang sebesar apa pun, dia dapat mengatakan kepada persoalannya itu "Hai persoalan! Engkau memang terasa besar bagiku, tetapi Tuhanku Maha Besar, dan Engkau kecil di hadapan Tuhan."

Kesabaran yang tangguh tersebut bisa diperkuat dengan prinsip keempat yang diadopsi dari kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi Al-Ashlu Al-'Adam (pada dasarnya tidak ada). Prinsip keempat ini bermanfaat untuk dipegang ketika kita gagal meraih sesuatu atau kehilangan sesuatu.

Kita perlu menyadari bahwa sesuatu yang kita kejar itu pada dasarnya tidak pernah ada pada kita. Jadi, ketika sesuatu itu tak teraih, maka sesuatu itu kembali ke asal usulnya yaitu tiada. Mengikhlaskan tidak teraihnya sesuatu adalah mengikhlaskan sesuatu yang memang pada dasarnya tidak ada pada kita. Bila kesadaran tersebut terpatri di hati, maka kehilangan dan kegagalan tak terlalu terasa menjadi pukulan.

Itulah empat prinsip hidup yang mendorong diri maju, mendekatkan diri pada Tuhan, dan menentramkan diri ketika sukses atau gagal. Dengan memegang prinsip hidup itu, kita tak sekadar hidup, justru insyaallah berada di jalan lurus orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.

*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

 

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/553861/prinsip-hidup 

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�