Suratno Sharing ‘Desa Pancasila” di India

Oleh: Dr. phil, Suratno

Dosen Universitas Paramadina, Dr.phil, Suratno, diundang menjadi pembicara seminar internasional dengan tema “India and Indonesia: Exploring Cultural Religious and Linguistic Pluralistic and Inclusive Identities” pada 19-20 Februari 2018 di New Delhi India. 

Seminar yang diselenggarakan oleh IIC (India International Center) menghadirkan sejumlah pembicara seperti mantan duta besar India di Indonesia, Indonesianis (para pakar Indonesia) dari beberapa universitas di India, serta perwakilan dari Indonesia yakni duta besar Indonesia untuk India, akademisi/peneliti dan jurnalis. IIC sendiri adalah institusi India yang berdiri sejak 1958 dan focus pada upaya mempromosikan kesepemahaman dan kerja sama antara India dengan negara-negara lain di dunia melalui seminar, riset, publikasi, international innisiative dan jenis kerja sama lainnya.

Seminar internasional “India dan Indonesia” membicarakan tentang situasi terkini India dan Indonesia khususnya terkait masalah-masalah dan tantangan kemajemukan budaya, agama, bahasa serta identitas di kedua negara tersebut. Seminar 2 hari itu dibagi menjadi 6 sesi. Hari pertama ada 3 sesi dengan sesi 1 mendiskusikan “Celebrating Plurality, experiences of India and Indonesia, sesi 2 tentang “framing national identity” dan sesi 3 tentang “preserving socio-religious harmony”. DI hari kedua juga ada 3 sesi yakni sesi 4 tentang “role of religion in politics”, sesi 5 tentang “preserving oral dan cultural tradition” dan sesi 6 yang terakhir yakni “India and Indonesia in a globalized world”.

Dalam seminar itu Dr.phil, Suratno di daulat untuk menjadi pembicara di sesi 3 tentang preserving socio-religious harmony. Pada kesempatan itu, Dr.phil, Suratno mempresentasikan makalahnya yang berjudul “Pancasila Village and The Preservation of Socio-Religious Harmony in Indonesia: Lesson from Balun of Lamongan and Banuroja of Gorontalo”. Makalah ini adalah bagian dari riset Dr.phil, Suratno ditahun 2014 tentang Desa Pancasila bekerja sama dengan PKUB (Pusat Kerukunan Umat Beragama), Kementrian Agama RI.

Dalam presentasinya, Dr.phil, Suratno menjelaskan bahwa saat ini memang ada wajah paradoksikal Indonesia. Di satu sisi, seperti laporan ICG setelah reformasi Indonesia mengalami 3 jeni kekerasan-atas-nama-agama yakni; pengebomban, konflik komunal dan kekerasan lokal. Tapi di sisi lain sebenarnya Indonesia punya pengalaman dan sejarah panjang tentang kerukunan beragama dan bagaimana mencegah serta menangkal potensi konflik. Oleh karena itu tahun 2014 PKUB Kemenag berinisiatif melakukan riset tentang Desa Pancasila untuk menunjukkan pada publik tentang Indonesia yang sesungguhnya dan bagaimana konsep serta praktek desa itu bisa diduplikasi ditempat lain. PKUB Kemenag mengidentifikasi hampir ratutsan desa Pancasila yang tersebar diseluruh Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.

Desa Pancasila sendiri aawalnya adalah konsep yang di introdusir oleh media-massa. Maksudnya adalah desa-desa yang bisa dibilang sebagai miniature Indonesia karena kemajemukannya baik dari sisi etnis, agama, budaya, bahasa penduduknya. Lebih dari itu desa tersebut mampu menjaga kerukunan warganya yang majemuk sesuai prinsip Bhineka Tunggal Ika dan memiliki kehidupan social yang mencerminkan nilai-nilai kelima sila dalam Pancasila. 

Dr.phil Suratno mempresentasikan 2 Desa Pancasila yang dianggap paling terkenal yakni Balun di Lamongan dan Banuroja di Gorontalo. 

Menurut Dr.phil, Suratno, Balun adalah sisi lain wajah Lamongan karena orang biasanya mengasosiasikan dengan trio-bom Bali yakni Amrozi, Ali Ghufron dan Ali Imron. Padahal Lamongan juga punya cerita manis tentang kehidupan social-keagamaannya. Balun menjadi Desa Pancasila karena beberapa keunikannya antara lain.

Pertama, Balun mampu membentuk karakter yang unik karena secara historis Mbah Alun (Ki Tawang Alun, nama Balun diambil dari Mbah Alun), pada abad 17 berhasil menyebarkan Islam dengan akulturasi pada budaya Jawa yang kental pada saat itu terutama karena pengaruh Hindu dan Buddha. Jadi warga Balun menjadi apa yang dikenal sebagai umat Islam abangan.

Kedua, ketika meletus G30S/PKI banyak warga Balun yang menjadi korban G30S. Akan tetapi berkat jasa Mbah Bati seorang mantan militer yang lalu menjadi kepala desa Balun untuk beberapa periode berjasa dalam menghentikan persekusi itu dan menghindari eskalasi konflik lebih lanjut di desa Balun.

Ketiga, di Balun berdiri rumah ibadah yang berdampingan dan sudah lama sekali. Rumah ibadah itu yakni mesjid Miftahul Huda, Gereja Katolik Jawa dan Pura Sweta Maha Suci serta ada makam Mbah Alun yang rutin di ziarahi orang. Rumah ibadah yang berdampingan itu tidak sekedar simbol tapi juga merefleksikan kedekatan warga Balun yang berbeda-beda agama.

Keempat, di Balun ada Mating-Mawin yakni tentang perkawinan. Selama riset, Dr, phil, Suratno menemui beberapa keluarga yang lintas-agama (interfaith family). Memang perkawinan lintas agama masih dianggap controversial, akan tetapi warga Balun menyikapinya dengan bijaksana. Keluarga lintas agama itu juga hidup bahagia dan mereka memberikan kebebasan kepada anak-anak mereka untuk memilih agamanya. Lebih dari itu, masyarakat Balun juga menghargai pilihan mereka.

Kelima, pimpinan dan komposisi petugas juru-kunci makam Mbah Alun juga merepresentasikan umat beragama yang ada di Balun. Ketuanya bergilir dari Islam, Katolik, Hindu. Ini karena menyangkut sumber pendapatan. Jadi tidak ada masalah kecemburuan ekonomi di Balun terkait eksistensi makam Mbah Alun yang makin ramai menjadi obyek wisata. 

Selain Balun, Dr.phil Suratno juga sharing tentang Desa Pancasila Banuroja Gorontalo. Banuroha juga memiliki keunikan tersendiri. Dari hasil risetnya, Dr.phil, Suratno melihat keunikan Banuroja antara lain;

Pertama, secara historis Banuroja merupakan desa transmigran sejak 1970. Disitu bermukim beberapa kelompok etnis dan agama. Nama Banuroja sendiri merupakan hasil musyawarah-mufakat yang mencerminkan etnis asal warganya yakni; BA; bali, NU; nusatenggara barat, RO; gorontalo, JA: jawa. Banuroja juga muti-agama karena pendatang dari jawa dan nusa tenggara umumnya Muslim. Pendatang dari Bali beragama Hindu. Sementara orang-orang Gorontalo terutama yang sebelumnya bagian dari Sulawesi Utara beragama Kristen.

Kedua, ketika meletus konflik komunal (baik antar agama maupun antar etnis), khususnya di daerah-daerah transmigran (karena politik transmigrasi era Suharto yang mengabaikan factor pendekatan budaya), Banuroja adem ayem saja. Mereka tetap bisa menjaga kerukunan masyarakatnya. Bahkan ketika diindikasi ada beberapa provokator yang datang dan mencoba mengadu domba warga masyarakat, Banuroja mampu menangkalnya.

Ketiga, sama dengan di Balun, di Banuroja juga ada 4 rumah ibadah yang berdampingan. Dekat Sekali. Sedekat hubungan intim diantara para warganya. Ke 4 rumah ibadah itu adalah: Masjid milik Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Gereja Protestan Immanuel, Gereja Protestan Pantekostal dan Pura Dalem Banuroja. Kedekatan rumah ibadah ini memungkinkan para warganya berinteraksi secara intens dan intim sehingga tercipta perasaaan damai dan saling menghargai di antara mereka.

Keempat, di Banuroja semua hal terkait hajat hidup warga harus dimusyawarahkan dan dimufakatkan. Itu adalah prosedur utama pengambilan keputusan. Oleh karena itu hasilnya bisa menjadi common-consent dan para warga bersama-sama untuk merealisasikannya.

Kelima, dalam hal manajemen desa, kepala desa dan perangkatnya juga merepresentasikan kemajemukan agamanya. Jadi kepala desa di gilir. Perangkat desa juga ada perwakilan dari masing-masing agama. Ini untuk menghindari dominasi satu pihak dan kecemburuan pihak lain. 

Dari hasil risetnya, Dr.phil Suratno menyatakan bahwa Desa Pancasila dengan kedekatan rumah ibadah memegang peranan kunci dalam menjaga kerukunan social keagamaannya. Rumah ibadah yang berdekatan bukan sekedar gedung tapi memungkinkan warga saling belajar, saling berinteraksi dan saling menghargai satu sama lain.

Menurut Dr.phil, Suratno, baik Balun maupun Banuroja keduanya memang punya 5 syarat, mengacu pada teori harmoni social Bryan Turner (1991) yakni value, interaction, reciprocity, structure dan idealisme. Jadi baik Balun dan Banuroja mereka itu punya (1) nilai interfaith yang mereka dapat dari rumah ibadah, sekolah, keluarga dll, (2) interaksi yang damai dan saling menghargai, (3) kerjasama yang saling menguntungkan (take and give, mutual cooperation), (4) struktur desa dan institusi dibawahnya yang merepresentasikan kemajemukan warganya, dan (5) common idealism (idealisme bersama) tentang persatuan dan kesatuan yakni; sama-sama sebagai makhluk Tuhan dan sama-sama sebagai warga negara Indonesia.  

 

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�