Oleh: Fuad Mahbub Siraj*

 

Para ulama salaf (ulama generasi terdahulu) mengalami perbedaan pendapat mengenai asal-usul Luqmanul Hakim: apakah ia seorang nabi ataukah sebatas seorang hamba Allah yang saleh saja. Luqman adalah seorang budak Habsyi dan tukang kayu. Terhadap kedua pendapat tersebut kebanyakan para ulama salaf setuju kepada pendapat kedua. (Ibnu Katsir: 1990 : III : 427).

Jamaal ‘Abdul Rahman mengutip pemaparan Imam Jalalain (Musthafa Jalalain dan Jalaluddin as-Suyuti) mengenai Lukman yang diberi gelar al-Hakim sebagai berikut. Luqmanul Hakim adalah seorang lelaki yang dikaruniai hikmah oleh Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya, (QS Luqman [31]:12)

 

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman….” (Alquran dan terjemahnya Depag RI: 2005 : 412).

Hikmah yang Allah SWT berikan kepadanya antara lain berupa ilmu, agama, benar dalam ucapan, dan kata-kata yang bijaknya cukup banyak lagi telah di-ma’tsur.

Sebuah kisah Luqmanul Hakim beserta anaknya yaitu ketika Lukman mengajak anaknya untuk menunggangi seekor keledai mengelilingi suatu kota. Pada suatu hari Luqman bermaksud memberi nasihat kepada anaknya. Ia pun membawa anaknya menuju suatu kota dengan menggiring seekor keledai ikut berjalan bersamanya. Ketika Lukman dan anaknya lewat di hadapan seorang lelaki, ia berkata kepada keduanya,“Aku sungguh heran kepada kalian, mengapa keledai yang kalian bawa tidak kalian tunggangi?”

Setelah mendengar perkataan lelaki tersebut Luqman lantas menunggangi keledainya dan anaknya mengikutinya sambil berjalan.

Belum berselang lama, dua perempuan menatap heran kepada Luqman seraya berkata,“Wahai orang tua yang sombong! Engkau seenaknya menunggangi keledai, sementara engkau biarkan anakmu berlari di belakangmu bagai seorang hamba sahaya yang hina!”

Maka, Luqman pun membonceng anaknya menunggangi keledai.

Kemudian Luqman beserta anaknya yang ia bonceng melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul di pinggir jalan. Ketika mereka melihat Luqman dan anaknya seorang dari mereka berkata,“Lihatlah! Lihatlah! Dua orang yang kuat ini sungguh tega menunggangi seekor keledai yang begitu lemah, seolah keduanya menginginkan keledainya mati dengan perlahan.”

Mendengar ucapan itu Luqman pun turun dari keledainya dan membiarkan anaknya tetap di atas keledai. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang lelaki tua. Lelaki tua itu kemudian berkata kepada anak Luqman,"Engkau sungguh lancang! Engkau tidak malu menunggangi keledai itu, sementara orangtuamu engkau biarkan merangkak di belakangmu seolah ia adalah pelayanmu!”

Ucapan lelaki tua itu begitu membekas dalam benak anak Luqman. Ia pun bertanya pada ayahnya,"Apakah yang seharusnya kita perbuat hingga semua orang dapat rida dengan apa yang kita lakukan dan kita bisa selamat dari cacian mereka?”

Luqman menjawab,"Wahai anakku, sesungguhnya aku mengajakmu melakukan perjalanan ini adalah bermaksud untuk menasihatimu. Ketahuilah bahwa kita tidak mungkin menjadikan seluruh manusia rida kepada perbuatan kita, juga kita tidak akan selamat sepenuhnya dari cacian karena manusia memiliki akal yang berbeda-beda dan sudut pandang yang tidak sama, maka orang yang berakal, ia akan berbuat untuk menyempurnakan kewajibannya dengan tanpa menghiraukan perkataan orang lain.” (Lafif min’l-Asatidzah : tt : 135-136).

Kemudian, anaknya bertanya,"Apakah yang mesti dilakukan oleh orang yang berakal?"

Luqman kemudian menjawab,"Benar dalam berbicara dan diam terhadap hal-hal yang bukan urusanku.”

Bagaimana agar orang berakal bisa melakukan hal yang demikian ayahanda, karena orang berakal memiliki ilmu dan pengetahuan?

Anaknya kemudian melanjutkan bertanya,"Bagaimana untuk bisa mendapatkan pengetahuan?"

Luqman menjawab,"Dengan mengetahui apa yang kamu tahu dan ketahui apa yang tidak engkau tahu. Orang-orang yang kita lewati tadi adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan tidak punya semangat untuk mendapatkan pengetahuan, sehingga mereka berbicara berdasarkan apa yang mereka lihat tanpa melakukan tabayun terhadap kita. Orang yang berakal dan berilmu pastilah menjaga dirinya dari keburukan."

Anaknya kemudian bertanya,"Apakah yang dapat merusak diri manusia pada awalnya?"

Luqman kemudian menjawab,"Lidah dan hati manusia dan keduanya juga yang menjerumuskan manusia kepada kehinaan."

 

*Staf Pengajar Universitas Paramadina Jakarta  

 

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/552316/hikmah-dari-luqmanul-hakim 

Oleh: Fuad Mahbub Siraj*

Dikisahkan pada suatu hari Luqmanul Hakim diperintahkan majikannya untuk menyembelih seekor kambing dan mengambil dagingnya yang terbaik untuk jamuan tamu yang diundangnya. Luqmanul Hakim kemudian membeli seekor kambing kemudian menyembelihnya dan mengambil lidah dan hatinya untuk dimasak dan ia buang selebihnya kemudian disajikan kepada majikan dan para tamunya.

Melihat hal itu majikannya marah dan menegurnya. ”Wahai Luqman, bukankah tadi aku perintahkan kepadamu untuk mengambil daging yang terbaik untuk jamuan para tamuku?"

Luqman pun menjawab,”Wahai majikanku, tidak ada daging yang terbaik dari makhluk, kecuali lidah dan hatinya."

Besok hari, majikannya memerintahkan kepadanya untuk menyembelih kambing kembali dan menyuruhnya membuang daging yang paling buruk. Luqman pun pergi ke pasar untuk membeli kambing dan menyembelihnya, kemudian ia buang lidah dan hatinya dan ia masak selebihnya.

Melihat ulah Luqman tersebut sang majikan pun kesal lalu berkata,”Apa maksudmu wahai Luqman? Kemarin aku perintahkan untuk menyembelih kambing dan menghidangkan daging yang terbaik dan engkau hanya menyuguhkan hati dan lidah saja. Sekarang, ketika aku menyuruh engkau untuk menyembelih kambing lagi dan memerintahkan kepadamu agar membuang daging yang terburuk lalu yang engkau buang adalah lidah dan hatinya. Apakah kamu bermaksud mempermainkan aku?”

”Maafkan hamba tuanku, akan tetapi apa yang hamba lakukan itu memang sudah sepatutnya, karena Islam mengajarkan bahwa tidak ada daging yang terbaik kecuali lidah dan hati apabila digunakan untuk kebaikan dan sebaliknya tidak ada daging terburuk kecuali lidah dan hati kalau dibuat untuk keburukan,” jawab Luqman.

Kisah sufi di atas bisa kita jadikan pedoman akan pentingnya menjaga hati dan lidah, karena keduanya merupakan bagian penting yang akan menentukan baik-buruknya orang tersebut. Hal tersebut cukup untuk membuat kita berpikir tentang apa yang kita katakan dan apa yang ada dalam hati kita.

Allah mengetahui semua yang dipikirkan dan semua rahasia hati, termasuk pikiran alam bawah sadar yang mereka sendiri tidak mengetahuinya. Allah mencatat fakta ini pada beberapa ayat dalam Alquran, seperti,"Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (at-Taghaabun: 4)

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui” (al-Mulk: 13-14)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)

Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. Lidah dalam konteks hari ini tidak selalu bermakna ucapan, melainkan tulisan kita di media sosial juga bagian dari menjaga lidah. Hari ini kita lihat bagaimana orang menulis di media sosial tanpa pikir dan pertimbangan. Cacian dan hujatan seperti tidak terperiksa.

Allah mengatakan,“Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang benar.” (QS Al-Ahzab:70)

Sementara itu, Rasulullah SAW bersabda,“Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari-Muslim)

Puasa membantu untuk melatih menjaga hati dan lidah kita. Puasa bermakna menahan dan menahan lidah serta hati adalah satu hal yang juga diutamakan. Dengan puasa, hati kita dilatih untuk tidak berprasangka buruk, iri hati, dan seluruh penyakit hati lainnya.

Lidah kita juga dilatih untuk tidak bicara yang buruk atau yang tidak menyenangkan bagi orang lain. Oleh karena itu, marilah kita melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya. Nabi Muhammad SAW mengatakan,“Ramadan datang dan Ramadan pergi, namun masih ada dosa seseorang yang belum diampuni oleh Allah.” Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang tersebut.

 

*Staf Pengajar Universitas Paramadina Jakarta

 

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/552939/menjaga-lidah-dan-hati 

Oleh: Zainul Maarif*

Tujuan puasa adalah ketakwaan pelakunya, sebagaimana tertera dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 183. Yang menjadi pertanyaan: apa gerangan takwa itu?

Takwa adalah upaya menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Secara umum, perintah dan larangan Tuhan disebut dengan golden rule: aturan emas, yang berbunyi,"Lakukanlah sesuatu sebagaimana engkau ingin diperlakukan. Jangan lakukan sesuatu yang tak ingin diperlakukan padamu."

Secara lebih global lagi, golden rule itu akhlak mulia, di mana Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakannya: Innamâ bu'itstu liutammima makârim alakhlâq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia).

Akhlak mulia adalah inti semua agama dan aliran etika. Semua nabi dan rasul pun hadir membawa akhlak mulia, yang disebut juga dengan agama.

Perbedaan di antara para nabi/rasul hanya pada syariat/manhaj (aliran/metode) saja. Allah berfirman,"likullin ja'alnâ minkum syir'atan wa minhâjan." (bagi kalian, Kami jadikan aliran dan metode masing-masing)

Jalan metodis para nabi dan rasul dalam menghadirkan akhlak mulia berbeda antara satu dan lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Nabi Musa As diutus Allah kepada Bani Israel yang mengungsi dari Mesir ke Palestina. Mereka tak punya tempat tinggal menetap alias nomaden. Namun, moralitas harus senantiasa ditegakkan. Allah menurunkan 10 perintah yang terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan YME, penghormatan kepada kedua orangtua, dan larangan membunuh, mencuri, berzina dan bersaksi dusta.

Apabila perintah yang terkait dengan relasi antarmanusia dilanggar, maka pelanggar akan dihukum balas. Alquran menyebutnya dengan qishâsh. Luka diganti luka. Mata diganti mata. Telinga diganti telinga. Bahkan nyawa diganti nyawa.

Hukum balas alias "syariat kebenaran" (syarî'at al-haq) Nabi Musa As. diberlakukan karena Bani Israel sedang dalam kondisi nomaden. Setelah Bani Israel menetap di Palestina, Nabi Isa As alias Yesus Kristus diutus dengan "syariat kasih" (syarî'at al-hub). Di Injil Matius 5: 38-39, Yesus Kristus bersabda,"Kamu telah mendengar firman mata diganti dengan mata, dan gigi diganti dengan telinga. Tapi aku mengatakan kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu."

Berbeda dengan syariat kebenaran Nabi Musa yang didominasi pembalasan setimpal, syariat kasih Nabi Isa penuh pemaafan.

Dalam syariat Musa, kita diminta membalas pihak yang bertindak buruk kepada kita. Apabila seorang berbuat baik, maka baginya respons yang baik. Apabila seorang bertindak buruk, maka baginya respons yang buruk. Itu prinsip syariat Musa yang berlaku di masa nomaden: hidup berpindah-pindah dan masih biadab.

Sebaliknya, syariat Isa adalah syariat masyarakat beradab yang mendorong kita untuk selalu bersikap baik. Apabila Anda bersikap baik, maka saya akan bersikap baik. Apabila Anda bersikap buruk, maka saya tetap akan bersikap baik.

Namun, syariat Isa itu berat. Tak semua manusia pemaaf. Syariat Musa juga berat, karena tak semua manusia pendendam.

Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir untuk manusia di mana saja. Maka, syariat Muhammad bersifat moderat antara syariat ekstrakeras Musa dan syariat ekstralembut Isa.

Syariat Muhammad itu disebut dengan syariat rahmat. Manifestasinya antara lain tampak di QS Al-Baqarah: 178. Di situ, umat akhir zaman diperkenankan untuk memilih apakah akan membalas keburukan dengan keburukan, seperti syariat Musa, ataukah akan memaafkan perilaku buruk, seperti syariat Isa.

Moderatisme adalah syariat Nabi Muhammad. Moderatisme tersebut merupakan bagian dari akhlak mulia, yang notabene inti sari dari takwa yang menjadi tujuan puasa. 

*Dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina, Jakarta.

 

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/553415/takwa-adalah-akhlak-mulia 

Oleh: Aan Rukmana*

Kita dilahirkan di atas muka bumi ini dengan suatu tujuan khusus, yaitu menyembah Allah SWT sebagai Zat yang menciptakan kita semua. Meski tujuan hidup kita sangat jelas, akan tetapi tidak jarang kita lalai dan lupa akan tujuan asal penciptaan kita.

Seperti seseorang yang hendak berpergian ke suatu daerah, akan tetapi di dalam perjalanan ia berhenti untuk beristirahat sejenak sambil menikmati makanan yang dibawanya. Di dalam perjalanan, ia berjumpa dengan para musafir lain yang juga memiliki tujuan yang sama. Mereka saling berkenalan dan terus berbagi cerita sampai-sampai mereka lupa akan tujuan awal perjalanan.

Di sinilah persoalan muncul. Niat awal menuju tempat tujuan terhalang oleh “godaan-godaan” yang muncul dalam tempat peristirahatan (rest area). Terkadang mereka ingat akan tujuan awalnya melakukan perjalanan akan tetapi secepat itu pula mereka melupakannya. Inilah barangkali gambaran kehidupan kita di atas muka bumi ini.

Kita semua adalah musafir yang sedang melakukan perjalanan menuju Sang Rabb yang menciptakan kita dari tiada menjadi ada. Untuk menuju kepada haribaan-Nya, kita diturunkan sementara di atas muka bumi ini. Akan tetapi keindahan semu dunia dan segala isinya tidak jarang menggoda diri kita, sehingga kita lupa tujuan awal penciptaan kita sendiri. Berbagai krisis hidup bermula dari kondisi “lupa” ini. Kita pun menjadi kehilangan orientasi hidup, kehilangan arah serta terlalu melekat dengan berbagai hal yang bersifat material.

Sebagai tujuan utama seluruh perjalanan makhluk, Allah sudah mengirimkan berbagai buku pedoman (kitab suci) untuk dijadikan acuan manusia dalam melakukan perjalanan. Di samping itu, Allah juga menyelenggarakan berbagai madrasah rohaniah yang bisa manusia ikuti agar kembali ingat akan hakikat dirinya.

Di dalam satu hari, Allah menyekolahkan kita semua untuk melaksanakan ibadah salat lima waktu agar kita selalu ingat kepada-Nya. Di dalam satu minggu, Allah menyekolahkan kita dengan cara menunaikan ibadah salat Jumat berjemaah dan di dalam satu tahun Allah menyekolahkan kita secara massal selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadan.

Hasil akhir dari semua madrasah tersebut adalah manusia dapat lulus dengan predikat tertinggi, yaitu takwa. Predikat inilah yang kelak akan menjadi sebaik-baiknya bekal perjalanan menuju Allah (fatajawwadû fa inna khayr al-jâd al-taqwâ).

Beruntunglah bagi kita semua yang saat ini dapat bersekolah di bulan suci Ramadan karena tidak semua orang Islam dapat kesempatan yang sama. Banyak yang berhalangan untuk memasuki madrasah rohaniah tahun ini, baik karena sakit, pekerjaan yang berat atau bisa jadi juga karena sifat diri yang malas. Untuk itu, mari kita maksimalkan bulan ini untuk mengasah diri kita akan lulus menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa.

Terdapat tiga cara yang dapat ditempuh agar pelaksanaan puasa tahun ini jauh lebih berkualitas daripada tahun-tahun sebelumnya. Langkah pertama, kita bisa memulai puasa dengan cara mengosongkan diri kita dari keterikatan apa pun. Inilah tahapan tahalli yang merupakan pintu masuk madrasah rohaniah. Di dalam tahapan ini, kita belajar untuk melepaskan diri kita dari ikatan duniawi. Hati yang kita miliki benar-benar kita kosongkan, karena hanya hati yang memang kosonglah yang dapat diisi oleh nilai-nilai ilahiah.

Selama ini kita sering kali dengan mudah mengikatkan hati kita dengan hal-hal yang sementara seperti terikat dengan jabatan, popularitas, uang yang melimpah dan lain sebagainya. Sering kali berbagai ikatan tersebut menjadikan kita lupa dan tidak peka akan kehadiran Allah SWT. Tidak heran jika kemudian hidup kita penuh penderitaan batin yang semakin hari semakin sakit. Melalui tahapan tahalli inilah hati kita dikosongkan kembali agar cahaya Ilahi dapat mengisinya.

Tahapan kedua yang kita masuki setelah melewati tahap pengosongan, yaitu tahap pengisian yang dikenal dengan istilah takhalli. Pada fase ini, kita mulai membiasakan hati diisi hanya oleh hal-hal yang baik saja. Momen puasa membantu kita untuk dapat memilih makanan-makanan apa saja yang cocok untuk konsumsi batin kita. Kita dianjurkan untuk tadarus Alquran, iktikaf di masjid, melakukan qiyam al-layl di saat yang lain sedang terlelap tidur.

Di samping itu, kita juga belajar untuk menghidupkan nilai-nilai positif dalam hati seperti kesabaran, syukur, cinta, dan lain sebagainya. Pada awal pengisian pasti terasa berat, akan tetapi akan mudah bagi kita yang sudah mengosongkan batin kita sebelumnya karena memang hanya yang kosonglah yang dapat diisi.

Tahapan ketiga, yaitu tahapan tajallî, di mana manifestasi ilahiah sudah tampak dalam sikap batin kita. Meski dari fisik kita tidak berubah, akan tetapi kita sudah menjadi pribadi baru yang memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan Allah SWT. Dalam fase ini, kita akan menjadi sosok yang jauh lebih mengedepankan maaf daripada balas dendam. Hati kita dipenuhi oleh rahmân dan rahîm dari Allah SWT.

Tidak ada sedikit pun kebencian terhadap makhluk Allah apa pun latar belakang mereka. Sosok yang tercerahkan ini lebih mengedepankan dialog dan musyawarah. Ia tidak pernah melihat perbedaan sebagai pembedaan, justru sebagai hal yang akan memperkaya batinnya. Perjumpaan dengan penganut agama lain menjadi hal yang dinanti. Sebagai sesama musafir, ia akan berbagi informasi terkait tujuan akhir hidup mereka, meski berasal dari jalan yang berbeda.

Sosok yang tercerahkan inilah pribadi yang layak mendapatkan kemenangan malam lailatulkadar, sehingga ketika Idulfitri datang merekalah yang paling pantas mengucapkan minal aidin wal faizin, ungkapan kemenangan yang memang cocok bagi yang lulus madrasah rohaniah di bulan Ramadan. Semoga kita semua dapat lulus dengan predikat tertinggi, amin. 

*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

 

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/554064/madrasah-rohaniah 

Oleh: Fuad Mahbub Siraj

innallaha ya’muru bil adli wal ihsan waita idzil qurba wa yanha anil fahsai wal munkar wal bagh yaidzukum laallakum tadzakkarun (An Nahl:90)

Surat An Nahl ayat 90 menyebutkan bahwa terdapat tiga hal yang dapat membantu kita menciptakan tatanan masyarakat yang baik serta tiga hal yang dapat merusak tatanan masyarakat. Pertama, Allah SWT memerintahkan kita untuk selalu berlaku adil kepada siapa saja. Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Prinsip keadilan menjadi prinsip pertama dalam membentuk tatanan masyarakat yang baik. Islam mengajarkan bahwa kita mesti berlaku adil terhadap siapa saja dan kapan saja tanpa membeda-bedakan sesorang berdasarkan agama, status sosial, suku dan lain sebagainya. Adil juga bermakna seimbang dalam seluruh aspek kehidupan. Rasulullah SAW berpesan,"Wahai sahabatku, sesungguhnya badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, demikian pula keluargamu memiliki hak atas dirimu, demikian pula tamumu memiliki hak atasmu."

Prinsip kedua adalah ihsan. Ihsan bermakna melakukan sesuatu yang paling baik dan memiliki makna yang lebih tinggi daripada keadilan. Misalnya, ketika kita ditampar oleh seseorang sebanyak satu kali, maka kita diizinkan untuk membalas tamparan tersebut sebanyak satu kali juga dan itu bermakna adil. Akan tetapi, jika kita tidak membalas dan memberi maaf, maka itulah yang disebut sebagai ihsan. Orang yang berhasil berbuat ihsan dinamakan orang yang muhsin. Nabi Muhammad ketika pamannya Hamzah mati syahid saat perang dan melihat Hindun membelah dada Hamzah kemudian memakan hatinya, Nabi bersumpah bahwa beliau akan membalas kekejaman yang dilakukan oleh Hindun lebih kejam dari yang pernah dilakukan, sehingga tidak ada satu pun manusia yang bisa membayangkan kekejaman yang akan dilakukan oleh nabi. Pada saat itu Allah mengatakan bahwa jika nabi ingin membalas maka balaslah sesuai perbuatan yang dilakukan, tetapi jika nabi memaafkan, maka itulah yang lebih baik.

Coba kita lihat bagaimana sikap Rasulullah SAW ketika menyuapi wanita tua yang buta beragama Yahudi di sebuah sudut pasar. Setiap nabi menyuapi wanita tua tersebut selalu cacian dan makian kepada Nabi Muhammad yang keluar dari mulutnya. Namun, Nabi Muhammad tidak pernah membalas cacian dan makian tersebut dan tetap menyuapi wanita tua yang buta dengan baik dan makanannya dihaluskan agar terasa lezat di lidahnya.

Hal itu dilakukan sampai nabi wafat yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapi wanita tua tadi, wanita tersebut mengetahui bahwa Abu Bakar bukanlah orang yang biasa menyuapinya, karena makanan yang diberikan oleh Abu Bakar terasa kasar di lidahnya dan kemudian ia bertanya di manakah orang yang biasa menyuapinya. Abu Bakar sambil menangis mengatakan bahwa orang yang biasa menyuapi wanita tua tersebut adalah Nabi Muhammad dan beliau sudah meninggal dunia. Ketika mendengar hal tersebut wanita tua tadi langsung meminta maaf dan langsung masuk Islam. Inilah sikap dan akhlak yang dicontohkan oleh teladan kita Rasulullah SAW.

Prinsip ketiga adalah berbuat baik kepada kaum kerabat. Tujuan terdekat manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk berbuat baik kepada manusia yang lain dan dengan itu tatanan masyarakat akan menjadi baik.

Dalam surat an-Nahl ayat 90, Allah SWT juga menyebutkan tiga hal yang dapat merusak tatanan masyarakat, yakni segala bentuk perbuatan al-Fahsya Wal munkar wal bagh. Al-Fahsya, kata ulama berarti sesuatu yang sangat keji. Jadi, apabila Allah SWT di dalam Alquran menggunakan kata al-Fahsya berarti perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sangat keji.

Wal munkar wal bagh adalah segala macam kemungkaran yang melampaui batas, seperti terorisme, korupsi, dan merusak keadilan dalam masyarakat. Itulah tiga macam perbuatan yang dilarang oleh Allah. Marilah kita jauhi dan hindari semua larangan Allah supaya tercipta tatanan masyarakat yang baik untuk Indonesia yang lebih baik.

*Staf Pengajar Universitas Paramadina Jakarta

sumber:

https://www.beritasatu.com/jalan-pulang/553750/prinsip-agama-dalam-membentuk-tatanan-masyarakat-yang-baik 

About us

Universitas Paramadina berdiri pada 10 Januari 1998, mengemban misi untuk membina ilmu pengetahuan rekayasa dengan kesadaran akhlak mulia demi kebahagiaan bersama seluruh umat manusia.

Latest Posts

Hubungi Kami

Kampus Jakarta
Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
T. +62-21-7918-1188
T. 0815-918-1190

E-mail: [email protected]
http://www.paramadina.ac.id 

Kampus Cipayung
Jl. Raya Mabes Hankam Kav 9, 
Setu, Cipayung, Jakarta Timur 13880�
T. 0815-818-1186


Kampus Cikarang

District 2, Meikarta,
Cikarang
T. 0815-918-1192�